Sekilas membaca judul di atas sudah terbayang bukan bagaimana kondisi negeri +62 saat ini? Ya, serba terbalik.
OPINI, FABERTA — Kita semua hanya bisa mengelus dada dalam-dalam tatkala pemerintah melayangkan peraturan larangan mudik terhitung dari 6 Mei hingga 17 mei 2021. Aturan itu termaktub dalam Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri 1442 H.
Memang kebijakan itu kembali lagi karena gelombang pandemi belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Jangankan berlalu, kapan akan mereda pun pemerintah masih harus meraba-raba kapan waktunya. Sehingga segala upaya akan dilakukan untuk menekan lonjakan kasus virus corona.
Para perantau merasa sangat dirugikan oleh kebijakan tersebut. Sebab, bagaimana mereka semua telah menahan kerinduan kepada sanak famili di kampung halaman. Tapi apalah daya, peraturan tetaplah peraturan. Kali ini saya tidak mau terlalu dalam mencampuri urusan kerinduan masing-masing perantau.
Saya hanya merasa geram atas apa yang terjadi, aktifitas larangan mudik gencar disosialisasikan, hingga media-media raksasa pun menjadikan topik itu sebagai headline. Seolah memberitahu bahwa larangan mudik sangat penting dan mesti ditaati oleh setiap warga +62.
Kendati demikian, kebijakan tersebut tak berlaku bagi turis mancanegara. Jelas, karena mereka bukan mudik, tapi pelesiran.
Pemerintah justru gencar mempromosikan pariwisata Indonesia. Misalnya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno mengajak masyarakat dunia berkunjung ke Lombok. “Ayo kembali ke Senggigi,” katanya mengutip dari berita Tempo.co yang mengudara pada 17 April kemarin. “Semoga pariwisata kembali pulih dan ekonomi kreatif bangkit kembali,” lanjutnya.
Berdalih alasan mendongkrak ekonomi, perjalanan arus luar negeri boleh-boleh saja, lantas bagaimana rute dalam negeri dilarang.
Padahal, arus mudik juga memberikan dampak ekonomi positif bagi pihak yang bergerak di bidang transportasi. Tak hanya itu, UMKM yang bergerak di bidang makanan dan minuman pasti ikut terdampak, karena pemudik butuh oleh-oleh yang dibawa ke kampung halaman.
Memang, harus kita akui, pasca gulungan ombak pandemi Covid-19 menghantam negeri ini, sektor pariwisata merosot tajam. Semua tulang punggung ekonomi daerah dibabat habis. Apalagi untuk daerah yang betul-betul mengandalkan sektor wisata sebagai andalan pemasukan daerah seperti Bali, Yogyakarta, Bandung, Lombok, Manado, Bangka Belitung. Semua lesu. Perekonomian Indonesia ambruk parah. Tak sedikit perusahaan raksasa gulung tikar serta berbagai alih profesi ikut banting setir.
Terbukti, pusat data Kemenparekraf/Baparekraf menunjukkan kunjungan wisatawan ke Indonesia melalui seluruh pintu masuk pada Februari 2021 berjumlah 117.000 kunjungan atau mengalami penurunan sebesar 86,59 persen dibanding Februari 2020 yang berjumlah 872.765 kunjungan. Sangat drastis.
Virus corona tentu tidak hanya ditularkan oleh warga dalam negeri, tak sedikit pasien yang terkonfirmasi terpapar Covid-19 sehabis melakukan perjalanan ke luar negeri.
Bukankah selama ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait syarat melakukan perjalanan harus memiliki surat keterangan hasil negatif tes PCR, rapid test antigen, atau genose sebagai bentuk wanti-wanti agar tidak terjadinya penyebaran virus corona.
Tetapi kenapa menjelang lebaran, justru mudik dilarang, bukankan pemerintah semestinya bisa menerapkan sistem yang sama dengan sebelumnya. Oke, melihat momentum, sudah dapat dipastikan orang yang akan melakukan perjalan meningkat drastis. Hemat saya, memperketat syarat perjalanan bisa menjadi solusi alternatif dan jalan tengah, bukannya malah melarang pergi. Toh, turis yang berkunjung ke Indonesia juga tak luput dari syarat dan ketentuan.
Entah, pertimbangan apa yang menjadi motivasi pemerintah melarang mudik lebaran dalam waktu yang telah ditentukan, sedangkan turis diperbolehkan. Jangan heran, bila masyarakat menerka-nerka bahwa pemerintah hanya memikirkan laba dari turis semata tapi lupa memanusiakan manusia.