FAKTA BERITA, OPINI – Pemerintah memutuskan untuk memangkas anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam rancangan APBN 2026, dengan alasan efisiensi fiskal dan penyesuaian terhadap dinamika ekonomi nasional. Kebijakan ini diklaim bersifat sementara, dan akan disesuaikan kembali mengikuti perkembangan ekonomi makro serta kebutuhan pembangunan. Namun, di balik niat efisiensi, keputusan ini menyimpan banyak konsekuensi serius bagi stabilitas ekonomi daerah, kesenjangan fiskal antarwilayah, serta keberlanjutan pelayanan publik yang selama ini menjadi jantung desentralisasi.
Rasionalitas Fiskal Antara Efisiensi dan Risiko
Dari sudut pandang ekonomi makro, langkah pemerintah ini bisa dimaknai sebagai upaya “diet fiskal”—memangkas belanja yang dianggap tidak efisien, menata ulang prioritas, serta memperkuat pengendalian defisit. Pemerintah juga berargumen bahwa sebagian anggaran TKD dialihkan ke program kementerian/lembaga yang hasilnya akan langsung dirasakan masyarakat di daerah, seperti infrastruktur, pendidikan, dan bantuan sosial. Secara teori, kebijakan ini dapat meningkatkan efektivitas belanja publik karena menghindari tumpang tindih antara pusat dan daerah.
Namun, dalam praktiknya, efisiensi tidak otomatis tercapai hanya karena anggaran dipangkas. Efisiensi fiskal mensyaratkan adanya desain kelembagaan dan koordinasi yang matang. Jika pemotongan dilakukan tanpa transisi yang jelas, maka justru menimbulkan efek kejut (fiscal shock) di tingkat daerah. Padahal, sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada TKD, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), untuk membiayai layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lokal.
Ketergantungan Fiskal Daerah dan Efek Domino
Data Kementerian Keuangan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen APBD di sebagian besar daerah masih bersumber dari TKD. Hanya sedikit daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) kuat, seperti DKI Jakarta, Kota Surabaya, atau Kabupaten Badung. Bagi ratusan kabupaten lain, terutama di luar Jawa, PAD seringkali tak cukup menutup belanja pegawai, apalagi membiayai pembangunan.
Oleh karena itu, pemangkasan TKD, meskipun dikatakan “sementara”, tetap akan menimbulkan efek domino. Daerah akan menghadapi dilema klasik: mengurangi belanja publik atau menaikkan pendapatan lokal melalui pajak dan retribusi baru. Kedua pilihan ini sama-sama sulit. Pemotongan belanja berarti pengurangan kualitas pelayanan publik dan perlambatan pembangunan. Sementara peningkatan pajak lokal bisa menekan daya beli masyarakat dan memperlambat aktivitas ekonomi lokal—terutama di tengah pemulihan pasca-pandemi yang masih rapuh.
Dalam situasi seperti ini, pemda berpotensi mengambil langkah instan yang kontraproduktif, seperti menaikkan tarif pajak daerah, memunculkan pungutan baru, atau menunda pembayaran proyek fisik. Akibatnya, pelaku usaha lokal ikut terpukul, dan efek berganda pembangunan daerah terhambat. Ini bukan sekadar masalah administrasi keuangan, tetapi juga menyangkut stabilitas ekonomi mikro dan kesejahteraan masyarakat di akar rumput.
Risiko Ketimpangan Fiskal yang Melebar
Kebijakan pemotongan TKD juga berisiko memperlebar ketimpangan fiskal antar daerah. Daerah dengan PAD besar masih mampu bertahan, bahkan mungkin mempercepat pembangunan karena lebih fleksibel. Sebaliknya, daerah dengan PAD kecil akan semakin tertinggal karena sumber pendanaan menipis. Dalam konteks ini, semangat desentralisasi fiskal yang dibangun sejak dua dekade lalu bisa terkikis pelan-pelan.
Ironisnya, justru di daerah-daerah dengan ketimpangan sosial-ekonomi tinggi, TKD selama ini menjadi “jaring pengaman fiskal”. Jika dana tersebut dikurangi tanpa skema kompensasi atau mekanisme redistribusi yang memadai, maka jurang pembangunan antarwilayah bisa makin dalam. Situasi ini berbahaya karena dapat memunculkan ketegangan politik dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah pusat.
Antara Alasan Efisiensi dan Tantangan Implementasi



















