FOTO: Cerita Tukang Servis Jam di Pangkalpinang Bertahan Sejak Era Soeharto

Tampak Ngiam Jun (Abon) sedang memperbaiki jam konsumennya. Foto: Rais

PANGKALPINANG, FABERTA — Berusia 61 Tahun dan memiliki empat anak, Ngiam Jun atau yang beken dipanggil ‘Abon’ menikmati hidup sederhana di Kota Kecil Pangkalpinang. menggeluti profesi sebagai tukang servis jam puluhan tahun membuatnya merasa tak ada pilihan lain untuk meniti karir baru.

Profesinya itu berawal dari masa bujangan. Abon tak ingat pasti tahun berapa. “Yang pasti dari Presidennya Pak Soeharto,” ujarnya.

Bacaan Lainnya

Ia menekuni pekerjaannya, mengotak-atik hingga hafal jenis mesin dan asal produksi berbagai model jam. Sesekali, ia juga memperbaiki mesin kendaraan sepeda motor. Tapi tak sejago dibanding menyervis jam.

Kepada Faktaberita, Abon bercerita, pada 1983 pernah mengadu nasib ke Ibukota. Meraba-raba nasib dengan profesi tukang servis jam di Pademangan Dua, Jakarta Barat. Tapi, rantauan itu gagal hingga ia memutuskan pulang kampung lagi. “Sepi di sana, jadi pulang lagi ke Bangka,” katanya sambil matanya melototi jam yang sedang diperbaiki.

Pria yang lahir di Kelurahan Pasir Putih, Pangkalpinang pada 1960 itu juga pernah mereparasi jam yang terpajang di Gereja Maranatha yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman (depan Alun-alun Taman Merdeka) sejak 1992 hingga 1997.

Terakhir, jam produksi dari Nederlandsche Fabriek Van Torenuurwerken B.E Ijsbouts Asten dengan Nomor 3061 berangka Tahun ANNO 1930 tersebut pernah ia servis pada 2012. Setelah itu, tak pernah lagi.

Sejak 2005, Abon kini hanya mangkal menunggu pelanggan dengan membuka lapak servis jam di Jalan May. H. Muhidin atau yang lebih dikenal Jalan Pasar Mambo. Bermodal sepeda motor roda tiga yang dimodifikasi lengkap dengan isi etalase, payung, juga dengan plang di bagian atas dan samping bertuliskan ‘Garuda Arloji’.

Faktaberita bertanya mengapa tidak membuka lapak jasa servis jam di sebuah kios, Abon hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Ga ada modalnya, begini aja udah,” ujarnya setengah pasrah.

Setiap pagi, kadang agak siang, Abon mulai memarkirkan kendaraannya di depan bangunan ruko yang sudah tampak kuno. Ia merapihkan satu-persatu alat yang biasa digunakan dalam bekerja. Tak pernah ketinggalan, kaca pembesar yang ia kalungkan setiap saat. Menempel di mata melihat detil satu persatu bagian tubuh jam yang ia servis.

Bila sepi pelanggan, Ia hanya duduk menatapi lalu lalang kendaraan di hadapannya sambil mendengar siaran radio. Kadang juga, ia langsung pulang, sehingga jam buka-tutupnya tak bisa diprediksi sama sekali. Semaunya saja.

Tak ada bekal ijazah khusus, hanya bermula dari hobi. Abon bertahan puluhan tahun mengandalkan keahliannaya untuk mengais pundi-pundi untuk menghidupi keluarganya. “Belajar sendiri, kita cuma sekolah SD,” ungkap lelaki itu yang rambutnya mulai memutih.

Abon sempat merasakan masa kejayaan. Pelanggannya ramai. Omzetnya lancar. Tapi tak bertahan lama, pendapatannya kian hari semakin melempem. Pelanggannya satu per satu tak lagi menggunakan jasanya.

Apalagi saat ini, Abon mengatakan perekonomiannya babak belur semenjak kena hantaman pandemi. Sebelumnya, ia bisa meraup omset ratusan ribu. Kini, paling banter 70 ribu, tak sampai seratus ribu. “Sehari ada lah 200-300 ribu, sekarang paling 70 ribu, mau bagaimana lagi, kondisi Covid kaya gini ya mau gak mau,” ungkapnya.


Pria yang tinggal di Semabung Baru itu kini hanya pasrah, menerima ketentuan Sang Maha Kuasa atas rejeki dan kesehatan yang masih diberikan. Ia cuma bisa berdoa “Semoga covid ini cepat berakhir,” harapnya dengan penuh keyakinan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *