FOTO: Pesanggrahan Menumbing, Saksi Bisu Pusat Percaturan RI Kala Itu

Tugu Bung Hatta di depan Pesanggrahan Menumbing, Muntok, Bangka Barat. Foto: Rais/Faberta

BABAR, FABERTA — Mengulas soal Pesanggarahan Menumbing yang berada di Muntok, Kabupaten Bangka Barat, tentu tidak bisa terlepas dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi kala itu.

Menelisik catatan sejarah pergerakan kemerdekaan pada masa antara Tanggal 22 Desember 1948 hingga 6 Juli 1949, sesungguhnya pusat percaturan politik Indonesia berada di pulau Bangka dan Bangka telah menjadi ibukota bayangan Republik Indonesia.

Bacaan Lainnya

DWMP Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Datuk Akhmad Elvian menceritakan, pada tanggal 19 Desember 1948, Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda melalui Agresi Militer Belanda Kedua atau dalam bahasa Belanda disebut Operatie Kraai.

Tiga hari kemudian, Tanggal 22 Desember 1948, pukul 07.00 WIB para pemimpin republik yang ditahan pasukan Belanda diterbangkan untuk diasingkan dengan menggunakan pesawat Bomber menengah bermesin ganda B-25 Mitchell, milik Angkatan Udara Belanda.

Disebutkan Datuk Akhmad, para pemimpin Republik Indonesia yang diterbangkan adalah Wakil Presiden RI, Drs. Moh. Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU), RS. Soerjadarma, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), MR. Assaat dan Menteri Sekretaris Negara, MR. AG. Pringgodigdo.

Mereka diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok untuk diasingkan dengan dikawal Truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Sementara itu Presiden Republik Indonesia Soekarno, Menteri Luar Negeri, Haji Agus Salim dan Sutan Sjahrir terus diterbangkan lagi dengan pesawat yang sama menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan kemudian dipindahkan ke Parapat. (Mulyana,dkk, 2003:14)

Pada Tanggal 2 Januari 1949, menyusul diasingkan ke Menumbing, Moehammad Roem dan Alisastroamidjoy.

Pembebasan Kerangkeng

Lanjut Datuk Akhmad bercerita, setelah lima hari berada di pengasingan Bukit Menumbing, pada Tanggal 27 Desember 1948, Belanda mulai membatasi ruang gerak pemimpin Republik Indonesia dengan membangun kerangkeng di dalam dan luar rumah.

Salah satu dari pengunjung pertama ke tempat pengasingan adalah delegasi dari Komite Jasa-jasa Baik PBB (the United Nations Good Offices Committe) atau Komisi Tiga Negara (KTN), dan mendapatkan mereka di tempat yang amat sederhana dikelilingi kawat berduri, Delegasi meminta atas nama PBB agar tawanan diberikan kebebasan bergerak.

Anggota delegasi KTN, Critchley dari Australia terkejut ketika melihat kerangkeng dipasang. Padahal wakil Belanda di United Nations mengatakan kepada Critchley, bahwa para tawanan itu bebas bergerak (pada wilayah seluas 4.500 square miles), melihat kenyataan seperti itu (kondisi di kerangkeng pada wilayah seluas 4.500 square tiles) Critchley akan melakukan protes keras.

Protes Critchley tersebut dikabulkan dan pada Tanggal 12 Januari 1949 kerangkeng dibongkar sehingga Bung Hatta dan pemimpin republik yang diasingkan lebih leluasa berada di pengasingan.

Tiga Kelompok Pemimpin RI

Setelah Agresi Militer Belanda Kedua dan pengasingan pemimpin republik ke pulau Bangka dan ke Parapat di pulau Sumatera, serta setelah pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), terdapat Tiga kelompok kekuatan di Republik Indonesia.

Pertama, kelompok pemimpin-pemimpin republik yang diasingkan di pulau Bangka disebut dengan Kelompok Bangka atau kadang-kadang disebut Trace Bangka, dengan tokohnya yang berpengaruh dan terkemuka yaitu Mohammad Hatta (Wakil Presiden).

Semua pemimpin republik yang dikumpulkan di Bangka, karena kesediaan mereka untuk melakukan perundingan yang disponsori UNCI (United Nations Commission for Indonesia), pengganti KTN (setelah Resolusi DK-PBB Tanggal 28 Januari 1949).

Kedua, kelompok kekuatan berikutnya adalah kelompok penentang kebijakan Kelompok Bangka, yaitu Pemerintah Darurat Republik Indoneseia (PDRI) di Sumetera Tengah dengan tokohnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran Rakyat).

Keutuhan republik terjaga karena Mr. Sjafruddin Prawiranegara sesuai dengan rencana berhasil mendirikan dan memimpin pemerintah Darurat Republik Indonesia dari “somewhere in the jungle” Sumatera. Jenderal Sudirman pun mengakui otoritasnya sebagai pelaksana jabatan kepresidenan (Dwi Arya,dkk,2015:19).

Ketiga, kelompok kekuatan di Republik Indonesia berikutnya adalah TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang bergerilya dengan kekuatan senjata dipimpin oleh Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman.

Pemerintah Belanda dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yaitu satu badan permusyawaratan federal bentukan Belanda yang didirikan setelah Konferensi Pangkalpinang dan Konferensi Bandung (Tanggal 29 Mei 1948) tidak pernah mengakui keberadaan PDRI (somewhere in the jungle) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang resmi didirikan berdasarkan Penetapan Presiden Tanggal 3 Juni 1947.

Sikap Belanda dan BFO serta kemudian, juga menjadi sikap Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia) atau UNCI yang tidak mengakui keberadaan PDRI diwujudkan dengan tidak melakukan berbagai perundingan dengan kelompok PDRI.

Akan tetapi, perundingan dilakukan dengan Kelompok Bangka atau Trace Bangka yang notabene merupakan tawanan Belanda. UNCI (United Nations Commission for Indonesia) sebagai pengganti KTN (Komisi Tiga Negara) selalu menghubungi pemimpin di Bangka terutama Bung Hatta.

Sementara sikap Belanda yang tidak mengakui keberadaan TNI dan panglima besarnya Jenderal Sudirman, dengan selalu mengesampingkan dan menyebutkan TNI sebagai “pengikut republik yang bersenjata”.

Pernyataan ini sangat menusuk hati Panglima Besar Jenderal Sudirman, beliau dengan tegas mengatakan bahwa: ”satu-satunya hak milik Nasional Republik yang masih utuh tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)” (Seskoad, 1991:323).

Resolusi PBB

Pada Tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi:

1). Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh Republik; kedua pihak harus bekerja bersama untuk mengadakan perdamaian kembali;

2). Pembebasan dengan segera dan dengan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda semenjak Tanggal 19 Desember 1948;

3). Belanda harus memberikan kesempatan kepada pembesar-pembesar pemerintah Republik untuk kembali ke Yogyakarta dengan segera agar mereka dapat melaksanakan Pasal 1 tersebut di atas dan supaya pembesar-pembesar Republik itu dapat melakukan kewajiban-kewajiban mereka dengan bebas; pada tingkat yang pertama pemerintahan di dalam Kota Yogyakarta dan daerah sekelilingnya, sedangkan kekuasaan Republik di daerah-daerah Republik menurut batas-batas Persetujuan Renville dikembalikan dengan berangsur-angsur kepada Republik;

4). Perundingan- perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan dasar Persetujuan Linggajati, Persetujuan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu Pemerintah ad interim federal paling lambat pada Tanggal 15 Maret 1949; pemilihan untuk Dewan Pembuat
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada Tanggal 1 Juli 1949;

5). Mulai sekarang Komisi Jasa-jasa Baik (Komisi Tiga Negara) ditukar namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia atau UNCI) dan tugasnya adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik untuk mengamat-amati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai-bagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian (Kartasasmita, dkk, 1977:205).

Kenyataan pada waktu itu ialah, bahwa dunia internasional, khususnya badan-badan PBB seperti Dewan Keamanan dan United Nations Commission for Indonesia (UNCI), mereka tidak pernah mengakui dan berhubungan dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di pulau Sumatra.

Pengakuan RI atas Kelompok Bangka

Jadi bisa diambil kesimpulan yang dimaksud dan diakui sebagai Pemerintah Republik Indonesia oleh Resolusi New Delhi pada Konferensi Asia di New Delhi, India pada Tanggal 20-23 Januari 1949 yang salah satu resulusinya berisi pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

Kemudian Resolusi Dewan Keamanan PBB Tanggal 28 Januari 1949 yang menuntut pembebasan “members of the Republican Government” (anggota- anggota Pemerintah RI) supaya Pemerintah Republik dikembalikan ke Yogya agar bisa “enabled to function freely” (dimungkinkan berfungsi dengan bebas) adalah pemimpin yang diasingkan di Bangka.

Bahwa Pemerintah Darurat dalam pesannya yang dikirim kepada Nehru dengan tilgram dan ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara, menyatakan persetujuannya dengan Resolusi New Delhi tersebut, dengan tanggung jawab sepenuhnya “accept the decision with full responsibility” (Sastroamidjojo, 1974:267).

Sumber: DWMP Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Datuk Akhmad Elvian.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *