Garuda Indonesia Nyaris Gulung Tikar, Salah Tata Kelola Diduga Jadi Penyebabnya

Ilustrasi/ist

JAKARTA, FABERTA — PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang kian dibanggakan di tanah air kini nyaris menemui kebangkrutan. Pasalnya, maskapai penerbangan pelat merah tersebut harus merugi karena terlilit hutang hingga Rp70 Triliun. Kondisi ini terjadi sejak tahun 2012 di mana terakhir kali perseoran ini catat keuntungan yang cukup besar.

Berdasarkan laporan keuangan perseroan sejak tahun 2016 mencatatkan untung sebesar USD1 juta, kemudian di tahun 2017 rugi sebesar USD100,6 juta. Lalu di tahun 2018 kembali mengalami kerugian USD65,3 juta. Sedangkan di tahun 2019 mendapatkan kinerja bagus dengan laba USD20,5 juta. Namun, kembali merugi pada triwulan I-2020 sebesar USD120,2 juta.

Bacaan Lainnya

“Jadi ada yang salah dari cara pengelolaan perusahaan dan ini tergambar dari beberpa tahun ada pergantian direksi tentunya ada kebijakan baru yang dikenalkan serta ada penambahan jabatan dan divisi baru sehingga menambah cost sumber daya manusia (SDM),” kata Presiden Direktur Aviatory Ziva Narendra dalam diskusi daring IDX Channel bertajuk ‘Kaji Opsi Penyelamatan Garuda Indonesia’ di Jakarta, Kamis 3 Juni 2021.

Menurut dia, kesalahan tata kelola manajamen terjadi lantaran kurangnya pengawasan dari pihak pemerintah seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kondisi kian parah dengan tidak transparannya informasi atau arus keuangan perusahaan ke publik. Padahal, sebagai perseoran yang telah berstatus Tbk upaya untuk transparan merupakan kewajiban yang harus dilakukan.

“Ada juga transparansi yang belum dibuka ke publik apalagi kita lihat catatan laporan keuangan dari tahun 2020 hingga sekarang belum dipublikasikan sehingga perlu ada intervensi pengawasan dari Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan untuk melakukan audit,” kata dia.

Sementara itu, Pengamat BUMN Universitas Indonesia Toto Pranoto menjelaskan, dengan utang yang terus menumpuk dan minimnya permintaan pasar imbas pandemi Covid-19 perlu adanya upaya-upaya yang signifikan dalam menyelamatkan Garuda Indonesia. Suntikan dana bantuan modal kerja yang dianggarkan melalui dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp8,5 triliun saja dipastikan tidak akan cukup untuk memperbaiki keuangan perseroan.

Pasalnya, beban operasional yang ditanggung sangat besar. Sedangkan dari sisi okupansi penumpang saat ini tidak lebih dari 20 persen.

“Mestinya Garuda bisa menjaga arus keuangan dengan baik, tapi apakah bantuan modal Rp8,5 triliun akan cukup itu tergantung pada situasi industri penerbangan berubah (lebih baik) atau tidak,” ujarnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *