FAKTA BERITA — Saat ini, di ranah publik, apakah di dunia maya maupun dunia nyata (kampung, sudut kota bahkan di desa)_hujatan, hinaan, makian termasuk ancaman_begitu mudah kita temui. Di dunia maya (WA, Twitter, FB dll)_bahkan sebagian di antara mereka dari kalangan relatif terdidik_mengunggah foto, karikatur, ungkapan, atau lainnya yang mempresentasikan atau dapat memicu kebencian, rasisme dan ketersinggungan.
Di jalanan, di suatu traffic light ketika semua orang berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, tiba-tiba ada saja orang-orang yang menerobos lampu lalu lintas dengan tanpa menghiraukan keselamatan dirinya dan orang lain. Di tengah jalan yang ramai dan
padat ada saja orang yang berkendara secara ugal-ugalan, ngebut melebihi batas kecepatan yang membahayakan banyak orang dan knalpot blombong yang memekakkan telinga. Di kota besar seperti Jakarta, Medan, Makassar sudah sering kita baca bahkan ada yang mengacungkan pistol ke pengendara lain hanya karena berebut jalan. Di tengah kemacetan jalan atau antrian panjang ketika orang membeli bahan bakar, antrian bagi sembako, antrian bagi daging kurban, antrian di kasir, di loket, dan di banyak tempat lainnya, ada saja orang yang mengabaikan antrian itu dengan memotong antrian dan minta dilayani terlebih dahulu, padahal ia datang belakangan.
Di berbagai kota_seperti kota Jogja, Medan, Palembang, Jakarta dll kini muncul fenomena banyak orang yang lebih nyaman membuang sisa bungkus makanan dan minumannya di sembarang tempat, padahal tidak jauh dari tempatnya duduk sudah disediakan kotak tempat sampah. Banyak fasilitas publik dirusak dan dicoret-coret (dimural) dengan kata-kata kotor dan tidak senonoh. Kalau kita masuk ke toilet umum, akan didapati coretan dan vandalisme itu di hampir permukaan dindingnya, belum lagi kondisi toilet yang
kotor karena tidak adanya kesadaran penggunanya untuk menjaga kebersihannya_terutama di area publik (rest area, sekolah, kampus, SPBU)…(Source: https://www.metrouniv.ac.id/artikel/keadaban-publik/).
Terkait kepedulian sosial dan sikap toleran, masyarakat kita juga punya problem akut. Di tengah angkutan umum yang padat penumpang sehingga sebagian orang harus berdiri bergelantungan ada seorang ibu dengan perut besar harus terombang-ambing menahan goncangan angkutan umum, namun ada pemuda gagah yang duduk manis menikmati perjalanannya dengan “cueknya” tanpa menghiraukan si Ibu yang hamil besar di sebelahnya. Lalu di dalam angkot yang padat penumpang, ada seorang laki-laki yang menikmati hisapan rokoknya dan asap mengepul mengepung ruang angkot, dia duduk dengan santainya tanpa peduli dengan sekitarnya. Dia kehilangan kepekaan sosialnya, padahal semua orang mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghalau asap rokok yang menyerbu wajahnya. Di kampus-kampus pun sama, sudah jamak ditemui mahasiswa tidak respek pada dosennya, bahkan mahasiswa berpakaian suka-suka tanpa peduli bahwa ini adalah tempat orang diharapkan saling menghargai, menghormati dan seterusnya.
Semua fenomena itu membuktikan betapa keadaban publik di masyarakat kita sudah mengalami penurunan yang parah. Sebagian dari kita atau kelompok tertentu bukan hanya sudah tidak menghormati orang dan kelompok lain, tetapi justru menganggap rendah, menghina, dan mengancam orang dan kelompok lain sebagai sesuatu yang biasa (Abda A’la, 2017).
Memang tidak semua anggota masyarakat kita sudah kehilangan sikap dan perilaku yang mencerminkan ketidakberadaban. Namun, sikap orang-orang terdidik yang masih terjaga keadabannya tetapi lebih banyak diam itu menjadi fenomena lain yang ironis, menyedihkan.
Permisif Berakibat Fatal
Banalitas atau pembiaran ketidaksopanan (incivility) jelas akan berdampak jauh bagi Indonesia. Budaya pembiaran yang diacuhkan dapat berdampak buruk, seperti memengaruhi psikologi individu. Budaya ini juga berisiko melanggengkan tindakan-tindakan kriminal, seperti korupsi, penggunaan narkoba, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dalam konteks dunia maya, budaya semacam ini terjadi akibat besar dan kuatnya pengaruh narasi-narasi di media sosial dalam membentuk opini publik. Warganet kemudian menjadi ikut-ikutan menghakimi maupun membiarkan terjadinya penghakiman terhadap individu tertentu.
Budaya pembiaran ini juga dapat “menjerat” individu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berdampak buruk, tapi mereka anggap wajar. Contohnya adalah para influencer atau buzzer yang kerap mencari keuntungan materi dengan menjadikan isu-isu yang benar menjadi salah padahal itu tidak lebih hanyalah point of view (cara pandang sesuai pesanan), yang dapat saja salah.
Akhirnya, jika keadaban ini terus berlanjut dampaknya akan memporak-porandakan kita, bangsa ini karena “ketidaberadaban” telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hal ini tidak jauh berbeda dengan teori “post truth”; bahwa sesuatu yang salah jika terus didengungkan, berulang kali maka lama-kelamaan diyakini sebagai hal yang benar.
Titik kritis persoalan akan mencapai puncaknya manakala penyebaran fitnah dan tindakan-tindakan itu menggunakan symbol-simbol agama atau juga lambing-lambang negara. Mereka membiaskan semua itu untuk mendukung kepentingan sempit dan sesaat mereka. Agama sebagai sumber moral dipangkas menjadi justifikasi tindakan mereka. Simbol negara sebagai pemersatu dijadikan temppat berlindung untuk gerakan yang rentan memecah belah bangsa.
Butuh Solusi Komprehensif
Kondisi semacam ini nampaknya makin hari makin permisif yang jelas kontraproduktif dengan budaya luhur kita. Penting diingat bukan hanya keadaban publik yang lenyap, melainkan kedamaian telah menjadi serpihan yang demikian getas, rapuh, mudah terempas dan lenyap saat terpaan angin gejolak sosial__sekecil apapun terpaan itu. Hidup sejatinya bukan lagi untuk dinikmati dan disyukuri bersama, tetapi dijadikan ajang kalah dan menang (A’la, 2017).
Hal yang harus diwaspadai saat ini titik kritis itu semakin jelas. Probabilitas ke arah sana sangat berpeluang terjadi jika hal ini kita anggap remeh. Dengan kata lain, kita tidak ingin negara ambruk dan bangsa hancur; dari sinilah urgen kiranya untuk segera mengurai permasalahannya dan merumuskan strategi komprehensif yang kemudian dengan tindakan konkret.
Krisis keadaban ini sejatinya berpulang pada masalah yang relatif kompleks, terutama dari kehidupan politik yang selalu gaduh dan bersumber dari elit negara. Demikian juga kehidupan ekonomi yang tidak kondusif__kisruh isu tambang untuk ormas, misalnya. Kehidupan budaya yang komersial hingga penegakan hukum yang makin absurd__kasus korupsi yang makin menggila, judi on line yang makin marak, narkoba dan lain-lain. Itu semua memerlukan strategi pemecahan secara menyeluruh yang dapat memangkas akar masalah semuanya.
Kesemua permasalahan itu dapat juga didekati dengan pendekatan budaya. Fenomena yang berkembang menunjukkan betapa kearifan lokal yang salah satunya dipresentasikan dalam tradisi masyakarat cenderung dikembangkan sebagai komoditas semata. Keluhuran nilai yang ada dibalik tradisi kemudian hanya hadir sebagai sandiwara yang tidak berlabuh dalam kehidupan konkret. Law enforcement atau penegakan hukum sejauh ini tampak hanya sebatas jargon. Sering terjadi, ada pembiaran terhadap pelanggaran hukum baik skala kecil maupun besar, dan pada lain waktu ada penegakan hukum tapi tampak kuat hangat-hangat tahi ayam atau ada transaksi tidak jelas dibaliknya. Hal ini tentu berdampak pada makin sulitnya membumikan kesadaran hukum di masyarakat. Aspek-aspek kehidupan lain tak jauh berbeda atau istilah sekarang sebelas dua belas.
Imam al-Ghazali Tentang Negara
Apa yang terjadi pada negara ini saat ini, mengingatkan penulis pada sosok Imam al Ghazali. Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya.
Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.
Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.
Usaha-usaha perbaikan politik yang di lakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat.
Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar. Imam al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada zamannya.
Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah.
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam dalam menentu kan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian sia sat perang, dan kemampuan intelektual untuk meng atur kemaslahatan rakyat.
Jika diringkas, ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak- nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pan- dangan dasar tentang iman.
Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktivitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang mema hami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus ber upaya meningkatkan setiap aspek da lam dirinya menuju kesempurnaan manusia.
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.
Oleh : Sobirin Malian ( Dosen Fakultas Hukum Unversitas Ahmad Dahlan )