FAKTA BERITA, PANGKALPINANG – Kepulangan 74 warga Bangka Belitung yang diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari Myanmar menyisakan kisah memilukan. Tangis haru pecah saat mereka tiba di Terminal VIP Bandara Depati Amir, Jumat sore (21/3/2025).
Dengan mata berkaca-kaca, mereka memeluk para pejabat yang menyambut mereka, mengungkapkan rasa syukur bisa kembali ke tanah air setelah mengalami pengalaman pahit di negeri orang.
AS, seorang warga Kabupaten Bangka Selatan, adalah salah satu dari mereka yang tertipu dengan janji pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri. Ia bercerita bahwa awalnya mendapat tawaran melalui Facebook dan dihubungi lewat Telegram oleh seorang agen yang menjanjikan pekerjaan legal dengan gaji Rp11 juta per bulan.
Semua biaya keberangkatan, termasuk paspor dan visa, disebutkan akan ditanggung oleh perusahaan. Tanpa curiga, ia berangkat dengan harapan dapat membantu ekonomi keluarga.
Namun, kenyataan jauh dari yang dijanjikan. AS mengungkapkan bahwa ia semula dijanjikan bekerja di Thailand, tetapi setelah tiba, ia justru dipindahkan secara ilegal ke Myanmar melalui jalur sungai dengan pengawalan tentara setempat.
“Kami dikawal tentara dan agen yang membawa kami harus membayar mereka,” ujarnya.
Kondisi kerja yang dihadapi AS dan rekan-rekannya sangat tidak manusiawi. Mereka dipaksa bekerja selama 15 hingga 18 jam sehari tanpa libur. Upah yang semula dijanjikan Rp11 juta pun tak pernah diterima utuh.
“Ada potongan 20 persen, denda, dan berbagai alasan lainnya. Akhirnya, yang saya terima hanya Rp3,5 juta per bulan,” kata AS.
Lebih buruk lagi, mereka dipaksa memenuhi target lima nomor korban dalam aktivitas penipuan daring (scammer online). Jika gagal, mereka dihukum dengan cara disekap, tidak diberi makan, bahkan harus membayar denda hingga Rp200 juta jika ingin pulang. AS mengaku beruntung tidak mengalami kekerasan fisik, tetapi tetap merasakan tekanan psikologis yang luar biasa.
“Hari ini saya pulang ke tanah air tanpa membawa uang sepeser pun,” tuturnya dengan suara bergetar.
Komunikasi dengan dunia luar pun hampir mustahil karena ponsel mereka disita. Namun, beberapa korban berhasil menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon, yang akhirnya memfasilitasi kepulangan mereka.
Bagi AS, pengalaman pahit ini menjadi pelajaran berharga. Ia mengingatkan para pemuda di Bangka Belitung untuk tidak mudah tergiur dengan tawaran pekerjaan yang belum jelas legalitasnya.
“Jangan percaya janji manis gaji besar tanpa memastikan keabsahan perusahaan. Saya berharap pemerintah dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di daerah agar kami tidak perlu mencari nafkah ke luar negeri dengan risiko seperti ini,” harapnya.
Sementara itu, Hela, salah satu orang tua korban, tak kuasa menahan air mata saat menunggu kepulangan anaknya. Ia mengungkapkan bahwa sang anak baru lulus dari sekolah menengah kejuruan dan langsung tergoda tawaran kerja di luar negeri.
“Saya dari awal tidak sepenuhnya mengizinkan, tetapi dia tetap berangkat. Begitu mendengar kabar buruk ini, saya langsung jatuh sakit,” ujarnya.
Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya, yang turut menjemput kepulangan para korban, meminta agar keluarga tidak menyalahkan mereka.
“Mereka berangkat dengan niat baik, ingin mencari nafkah. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua, termasuk pemerintah daerah, untuk lebih serius menyiapkan lapangan pekerjaan agar warga kita tidak mudah tergiur iming-iming pekerjaan ilegal,” tegasnya.