FAKTA BERITA, PANGKALPINANG — Dalam dinamika politik modern yang sering kali dipenuhi strategi dan kalkulasi, Ketua Tim Pemenangan Prof. Saparudin (Prof Udin), Imam Wahyudi, memilih untuk melangkah sedikit berbeda. Di tengah persiapan jelang Pilkada Ulang Kota Pangkalpinang 2025, ia menyempatkan diri bersilaturahmi dengan sosok yang selama ini dikenal sebagai penjaga kearifan lokal—Atok Kulop.
Pertemuan yang berlangsung hangat itu tak hanya menjadi ajang berbagi cerita, tetapi juga menjadi ruang kontemplatif untuk menyerap nilai-nilai kultural yang sering terabaikan dalam gemuruh kontestasi politik.
“Atok Kulop tidak bicara strategi politik teknis. Yang beliau sampaikan justru lebih dalam—soal sikap, soal cara hadir di tengah masyarakat,” ungkap Imam Wahyudi usai pertemuan.
Dalam percakapan tersebut, Atok Kulop menitipkan beberapa pesan penting yang ia sebut sebagai “tip-tip kemenangan”. Bukan dalam bentuk rumus kampanye, melainkan dalam wujud etika kepemimpinan: rendah hati, hadir secara nyata, dan tetap membumi.
“Beliau berpesan agar Prof Udin tidak sekadar turun ke masyarakat, tapi benar-benar mendengar dan menyimak. Menyapa dengan tulus, berjabat tangan tanpa beban, dan menanggapi warga bukan dengan janji kosong, tapi empati,” ujar Imam.
Menurutnya, kepercayaan masyarakat dibangun bukan hanya lewat visi dan program, tapi dari gestur-gestur kecil yang menyentuh: sikap ramah, perhatian yang tulus, dan kehadiran yang konsisten.
Bagi Imam, pertemuan ini bukan sekadar kunjungan, melainkan bagian dari upaya memperkuat fondasi gerakan politik Prof Udin—yakni gerakan yang tidak tercerabut dari akar budaya dan nilai spiritual masyarakat Pangkalpinang.
“Dalam perjuangan politik, kita tidak boleh kehilangan nilai. Pesan Atok Kulop menjadi pengingat bahwa politik yang benar adalah yang tetap menjunjung kemanusiaan, kesantunan, dan kejujuran,” jelas Imam.
Dengan tetap membawa semangat gotong royong, ia berharap nilai-nilai kultural yang diwariskan para tokoh lokal seperti Atok Kulop dapat menjadi nafas dalam langkah politik Prof Udin, yang sejak awal memang dikenal sebagai figur akademik yang merakyat.
Pertemuan tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa di tengah kompetisi politik, ruang untuk belajar dari kebijaksanaan lokal tetap penting—bukan hanya untuk memenangkan suara, tapi untuk menjaga arah perjuangan agar tetap pada rel keadilan, kerendahan hati, dan keberpihakan pada rakyat.