Pelecehan Seksual dalam Perspektif Budaya Patriarki

OPINI, FAKTABERITA — Dewasa ini marak kasus pelecehan seksual di Indonesia , tak jarang kasus tersebut terjadi di lingkungan kita sendiri. Dilansir dari Kompasiana, di Indonesia sendiri kasus pelecehan seksual di tiga tahun kebelakang dapat dikatakan meningkat, pada tahun 2019 terdapat 12.000 kasus pelecehan seksual dan meningkat pada tahun 2021 hingga mencapai 15.000 kasus.

Pelecehan seksual ini dapat berupa siulan, sentuhan, perkataan, pemaksaan , penghinaan yang merujuk pada bagian tubuh yang
sensitif dan bersifat pornografi, sehingga dapat membuat korban tersebut merasa tidak nyaman. Lalu, bagaimana perspektif budaya patriarki terhadap pelecehan seksual?

Bacaan Lainnya

Seringkali kita temukan kasus pelecehan seksual di lingkungan kita dan terdapat stigma yang telah berkembang lama di lingkungan masyarakat. Pelecehan seksual memang dapat terjadi pada siapa saja , namun jarang sekali kita mendengar laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual.

Dalam budaya patriarki stigma maskulinitas laki-laki menjadi alasan mengapa laki-laki tidak mengalami pelecehan seksual atau pemerkosaan, laki-laki yang selalu dipandang kuat sehingga dapat melakukan perlawanan terhadap pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya, selain itu laki-laki dianggap sebagai makhluk yang tidak mungkin menolak wanita yang menggodanya.

Oleh karena itu, laki-laki jarang sekali melaporkan pelecehan seksual yang menimpa dirinya dikarenakan dirinya merasa malu sehingga ia lebih memilih untuk bungkam dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Lain halnya dengan perempuan, dalam budaya patriarki posisi wanita selalu di bawah laki-laki dan terdapat keterbatasan ruang lingkup geraknya.

Perempuan selalu di anggap sebagai makhluk lemah, meskipun begitu sering kali pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan dimana perempuanlah yang menjadi korban mendapatkan cemoohan yang tidak sesuai dengan apa yang di alaminya.

Saat perempuan menjadi korban sering kali korban lah yang disalahkan, adanya komentar-komentar masyarakat seperti “ salah sendiri kenapa keluar malam sendirian”, “lagian pake baju terbuka, bikin mancing aja” , “lagian, siapa suruh keluar sendirian” . Kaimah-kalimat seperti itulah yang sering kita dengar saat terjadi pelecehan seksual pada perempuan. Dan hal serupa juga terjadi pada laki-laki seperti “ kenapa diem aja, keenakan ya? ,”rejeki jangan di tolak bro” , “nikmatin
aja kali bro” dan sebagainya.

Perlu kita ketahui pelecehan semua memiliki berbagai dampak yang tidak dapat kita sepelekan. Dampak psikis yang ditimbulkan seperti korban merasa kurang percaya diri, malu, merasa tidak berharga, depresi bahkan dapat berakhir dengan bunuh diri.

Selain itu, dampak dari budaya patriarki ini membuat korban pelecehan seksual enggan melaporkan pelecehan yang dialaminya. Dan juga hukum yang ada di Indonesia terkadang tidak membuat jera para pelaku pelecehan seksual, karena hukum yang lemah saat di hadapkan dengan uang dan jabatan membuat korban lebih memilih bungkam sehingga hal tersebut membuat kasus pelecehan di Indonesia semakin banyak, dan seolah-olah tidak ada akhirnya.

Oleh krena itu sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam memberantas kasus pelecehan seksual ini. Dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, pemerintah harus bertindak tegas dalam menanganinya karena tak menutup kemungkinan korban pelecehan seksual
dapat menjadi pelaku pelecehan seksual di masa mendatang.

Selain itu pemerintah juga harus mengulas dan menyusun kembali undang-undang yang membahas tentang pelecehan seksual. Dengan begitu di harapkan kasus serupa tidak terjadi kembali dan tentunya kasus pelecehan seksual di Indonesia menurun dan juga terciptanya lingkungan yang aman dan nyaman serta terbebas dari pelecehan seksual.

***

Kayla Febriani (ist)

Penulis: Kayla Febriani

(Mahasiswi Fakultas Ilmu Fisip Universitas Bangka Belitung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *