OPINI, FAKTABERITA — Remaja merupakan salah satu pondasi yang diharapkan menjadi generasi emas untuk kemajuan Indonesia. Akan tetapi besarnya pengaruh globalisasi yang terjadi membuat remaja terjerumus kedalam pergaulan yang bebas seperti sex bebas, narkoba, prostitusi dll.
Adanya globalisasi berpengaruh dalam menghilangkan norma-norma sosial dalam masyarakat. Prostitusi anak merupakan permasalahan sosial yang serius dalam kehidupan masyarakat yang harus ditindaki dengan benar agar tidak banyak korban anak-anak lainnya.
Prostitusi anak adalah tindak kejahatan dalam perdagangan anak untuk tujuan seksual dengan menawarkan jasa seksual anak kepada orang lain dengan imbalan berupa uang atau lainnya. Dalam kasus praktek prostitusi Indonesia telah dicantum dalam UU yang ditinjau dari segi Yuridis yang terdapat dalam KUHP yaitu mereka yang menyediakan sarana tempat persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggan bagi pelacur (pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-laki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP).
Walaupun adanya UU yang mengatur mengenai prostitusi, praktek prostitusi dalam masyarakat masih ada dan berjalan terorganisir secara profesional dan rapi, dengan menyediakan tempat-tempat prostitusi, diberikan fasilitas tertentu serta dilindungi oleh hukum, hal ini dapat kita simpulkan bahwa adanya kekuasaan dalam praktek tersebut yang dapat mengendalikan hukum. Serta tidak adanya ketegasan hukum dan penegak hukum bagi pelanggan yang menyewa jasa seksual anak.
Menurut End Child Prostitution Child Pornography and The Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) penyebab terjadinya prostitusi anak karena eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan kebutuhan perempuan muda pada industri seks.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama Januari-April 2021, terdapat 35 kasus yang dimonitor KPAI, dari 35 kasus tersebut terdapat 83% merupakan kasus prostitusi, 11% eksploitasi ekonomi dan 6% perdagangan anak, dan terdapat 67% dari korban eksploitasi seksual, perdagangan, dan pekerja anak merupakan siswa yang masih aktif bersekolah. Serta 37% korban yang merupakan anak putus sekolah. Dari kasus-kasus tersebut jumlah korban mencapai 234 anak. Dari kasus-kasus tersebut jumlah korban mencapai 234 anak. (https://m.mediaindonesia.com/humaniora/403241/kpai234-anak-korban-eksploitasi-seksual-dan-pekerja-di-bawah-umur).
Dalam kasus Perdagangan anak untuk tujuan seksual (prostitusi anak) pelaku kejahatan telah melanggar undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang pengesahan perubahan UU perlindungan anak no 23 tahun 2012 dan dikenai sanksi hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Juga undang-undang no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pelaku perdagangan dapat dikenai hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.



















