Pemerintah Diminta Pangkas Perusahaan Pelat Merah yang Tak Sehat

Perusahaan BUMN. Foto: Ilustrasi/ist

JAKARTA, FABERTA — Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Universitas Indonesia, Toto Pranoto meminta pemerintah untuk memangkas jumlah perusahaan negara yang tidak sehat. Upaya ini dilakukan untuk menjaga anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk memberikan modal kerja yang tidak efektif.

Toto menjeskan, selama ini pemerintah selalu memanjakan BUMN yang tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap devisa negara. Sehingga anggaran yang dimiliki pemerintah tidak cukup mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Bacaan Lainnya

“Bagusnya tidak perlu banyak BUMN tapi memiliki sedikit yang kondisinya sehat saya kira jauh lebih penting,” kata Toto dalam diskusi daring IDX Channel bertajuk ‘Kaji Opsi Penyelamatan Garuda Indonesia’ di Jakarta, Kamis 3 Juni 2021.

Menurut dia, salah satu BUMN yang saat ini kondisinya tidak sehat yakni masakpai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang tengah terlilit utang hingga Rp70 triliun. Angka tersebut diperkirakan terus bertambah lantaran lesunya okupansi penumpang imbas pandemi Covid-19.

Upaya penyelamatan maskapai berpelat merah itu pun tengah menjadi sorotan publik. Beberapa opsi ditawarkan untuk menyelamatkan usaha seperti adanya penyertaan bantuan modal pemerintah yang diambil dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp8,5 triliun.

“Jadi kalau situasinya masih belum berubah okupansinya tidak lebih dari 20 persen dan pendapatan kargo belum cukup banyak ya tetap akan sulit. Maka perlu ada pilihan-pilihan lain,” kata dia.

Sementara itu, Presiden Direktur Aviatory Ziva Narendra menduga kerugian Garuda Indonesia terjadi lantaran tata kelola perseroan yang salah. Hal ini tercermin dari laporan keuangan perseroan sejak tahun 2016 mencatatkan untung sebesar USD1 juta, kemudian di tahun 2017 rugi sebesar USD100,6 juta. Lalu di tahun 2018 kembali mengalami kerugian USD65,3 juta.

Sedangkan di tahun 2019 mendapatkan kinerja bagus dengan laba USD20,5 juta. Namun, kembali merugi pada triwulan I-2020 sebesar USD120,2 juta.

“Jadi ada yang salah dari cara pengelolaan perusahaan dan ini tergambar dari beberpa tahun ada pergantian direksi tentunya ada kebijakan baru yang dikenalkan serta ada penambahan jabatan dan divisi baru sehingga menambah cost sumber daya manusia (SDM),” kata dia.

Ziva menambahkan, kesalahan tata kelola manajamen terjadi lantaran kurangnya pengawasan dari pihak pemerintah seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kondisi kian diperah dengan tidak transparannya informasi atau arus keuangan perusahaan ke publik.

Padahal, sebagai perseoran yang telah berstatus Tbk upaya untuk transparan merupakan kewajiban yang harus dilakukan. “Ada juga transparansi yang belum dibuka ke publik apalagi kita lihat catatan laporan keuangan dari tahun 2020 hingga sekarang belum dipublikasikan sehingga perlu ada intervensi pengawasan dari Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan untuk melakukan audit,” kata dia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *