Oleh Sobirin Malian
FAKTABERITA, OPINI — Di antara misi dan visi besar reformasi adalah terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dasarnya begitu simpel, yaitu bilamana penyelenggaraan negara masih mengidap penyakit kronis penyalahgunaan kekuasaan tersebut, maka dapat dipastikan tujuan pembangunan tidak akan pernah dapat terwujud.
Atas dasar itulah, di tahun-tahun awal reformasi banyak dilahirkan produk hukum yang orientasinya ingin mewujudkan negara bersih bebas dari semua korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memulai dengan melahirkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan dikuatkan lagi oleh Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN. Kelahiran kedua Tap MPR ini prosesnya begitu alot dan mengalami perdebatan sengit di antara anggota MPR lain, yang diwarnai dengan perasaan antara pesimis dan optimis.
Produk hukum untuk mewujudkan negara bersih tidak berhenti sampai di situ. Lahir kemudian UU Nomor 31 Tahun 1999 (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih jauh, bahkan untuk mengatasi permasalahan korupsi di lembaga penegak hukum konvensional (seperti kejaksaan dan kepolisian), disahkan pula UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Banyaknya produk hukum di awal reformasi itu menggambarkan secara utuh betapa kuatnya kemauan politik untuk memberantas penyakit akut penyalahgunaan kekuasaan, terutama skripsi yang dianggap telah merusak sendi-sendi bernegara itu. Dapat diterjemahkan kesadaran kolektif reformasi kala itu bahwa praktik KKN memang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara. Tidak hanya itu, dalam kehidupan bernegara, praktik KKN telah melemahkan berbagai institusi negara dan nilai-nilai demokrasi serta membuat lembaga penegakan hukum seolah lumpuh.
Namun, setelah berlalu lebih dari 25 tahun, trilogi pemberantasan agenda penyalahgunaan kekuasaan berupa KKN seolah mengalami stagnasi, bahkan mendapatkan serangan balik (fight back), misalnya apa yang dialami lembaga KPK. Serangan terhadap KPK ini tidak hanya dalam bentuk pelemahan secara lembaga, tetapi juga dalam bentuk teror atau serangan terhadap pribadi/keluarga para pegawai KPK hingga penyisipan capim KPK yang secara kriteria bermasalah dalam “rapor merah” masyarakat sipil anti-korupsi. Upaya pelemahan secara lembaga sendiri dapat dilihat dari direvisinya Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jelas pelemahan KPK bertentangan dengan komitmen awal gerakan reformasi. Pelemahan KPK adalah salah satu bentuk mundurnya demokrasi. Ini disebabkan oleh patronase yang semakin menguat yang menimbulkan kroni-kroni membentuk etalase politik oligarki di segala arah.
Era Jokowi: Penguatan Pragmatisme
Sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi, khususnya menjelang akhir masa jabatannya, nampak jelas arah reformasi telah berbalik arah bahkan setback dan lebih parah daripada pada era Orde Baru. Korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menggerogoti kewibawaan institusi negara. Hal menonjol justru muncul politik pragmatisme yang substansinya sangat bertentangan dengan negara hukum dan jelas tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.
Secara sederhana, makna pragmatisme di sini adalah mengutamakan hasil tanpa memedulikan proses yang harus dilalui. Pragmatisme tidak begitu sulit didefinisikan karena kata ini sudah dipraktikkan dalam politik dan hukum. MK yang mengesahkan Gibran dan disahkannya hasil Pemilu 2024 yang dianggap curang, dan terakhir dihidupkannya kembali DPA (Dewan Pertimbangan Agung) bukti pragmatisme itu.
Dulu banyak orang menentang dengan mengatakan, “Hidup itu jangan pragmatis!” Kalimat itu sering diucapkan seseorang ketika ada orang lain yang lebih mementingkan hasil daripada proses. Ide di kalangan filsuf pragmatis tidak bermakna tanpa ada manfaat yang dihasilkan dari ide tersebut. Inilah standar kebenaran kaum pragmatis di Amerika pada abad ke-19 lalu yang sangat sekuler. Standar kebenaran yang mementingkan hasil ini tentunya membuat segala sesuatu menjadi relatif. Tidak ada kebenaran yang mutlak atau absolut, meski dalam ranah agama sekalipun. Aliran inilah yang pada akhirnya menginspirasi kelahiran aliran-aliran filsafat lainnya, yaitu relativisme dan pluralisme, yang perdebatannya tidak berhenti hingga saat ini, tak terkecuali di Indonesia sendiri.
Terjadinya puncak pragmatisme di Amerika ada pada William James (1842–1910). Pragmatisme mempunyai sebutan tersendiri dalam logika James. Dia menyebut pikirannya ini dengan “empirisme radikal.” Dikatakan radikal karena kebenaran yang sifatnya empiris itu tidak hanya sekadar ide, tetapi haruslah dialami. Sebagai contoh adalah terkait dengan rasa makanan atau minuman. Seseorang tidak akan bisa menjelaskan secara detail rasa jus alpukat atau durian, misalnya tanpa mengecapnya. Ada fakta jus alpukat atau durian itu sifatnya empiris, karena ada objeknya. Namun tidaklah cukup di situ, mengalami dengan meminumnya jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada hanya sekedar mendengar cerita orang lain atau membaca referensi di buku. Inilah kebenaran hakiki versi James.
Menurut Fahruddin Faiz (dosen UIN Suka), bahwa pragmatisme secara umum dibagi menjadi agresif, metafisika, emotif, kebebasan, humanis, kreatif, dan instrumentalis. Agresif di sini adalah sikap hidup mandiri yang tidak bergantung kepada apa pun dan siapa pun. Adapun metafisika di sini secara tidak langsung tertolak karena tidak faktual serta tidak independen. Jika seseorang bergantung kepada hal-hal gaib, misalnya Tuhan, hidupnya tidak akan mandiri karena konsep kepasrahan (kebergantungan) tadi. Jadi, ada nuansa sekulerisme yang kental dalam pragmatisme itu. Oleh karena itu, sekularisme merupakan pandangan yang tidak mempercayai Tuhan dalam kehidupan manusia di dunia. Ini tidak hanya bertentangan dengan agama Islam, tetapi juga semua agama di dunia, mengingat banyaknya agama yang ada.
Ciri lainnya adalah emotif – dalam arti mengejar kepuasan. Sebuah ide dalam konsep pragmatisme akan memuaskan jika ide itu dialami atau mendapatkan hasil. Ciri selanjutnya adalah kebebasan yang membuat sesuatu itu berguna atau mendapatkan hasil. Sebagai contoh, kasus politik Jokowi. Kebebasan era sekarang diterjemahkan oleh Jokowi untuk berbuat apa saja sejauh itu bersifat prosedural, kendati hal itu tidak etis. Prosedur adalah tatanan hukum negara. Sejauh itu bisa ditempuh, apa pun cara mendapatkan apalagi melalui lembaga hukum, maka dia legal. Itulah jalan yang dilalui Gibran dan Kaesang melalui MK dan MA. Dengan kata lain, aktualisasi diri akan mendapatkan hasil bila prosedur tadi ditempuh dan mendapatkan pengakuan legal. Terlepas dari nilai etis atau metafisika ke-tuhanan. Sejarawan Indonesia Bonnie Triyana mengatakan, Jokowi telah mematahkan harapan masyarakat dalam konteks kehidupan adil dan sejahtera, sesuai dengan makna yang tertuang pada Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Penutup
Situasi bangsa terkini ialah bukti nyata bahwa reformasi sebenarnya telah salah arah. Reformasi yang semestinya menjadi jalan menuju Indonesia yang lebih baik, besar, bersatu, dan demokratis, justru berjalan kontraproduktif. Oleh sebagian kalangan (terutama elit), reformasi telah dibajak dan dibelokkan demi kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Oleh sebagian pihak, demokrasi dimanfaatkan secara serampangan untuk sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Reformasi yang salah arah harus diluruskan kembali agar tidak berpotensi memecah belah bangsa. Kita tak ingin bangsa ini tercerai-berai, tetapi bukan berarti kita harus meninggalkan demokrasi. Kita sudah berada di point of no return, titik yang tak mungkin kembali ke belakang, ke era otoritarianisme. Wallahu’alam bissawab.[
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UAD