Putusan MK Tentang Leasing, Masyarakat Harus Jeli

Agung Pratama, S.H (Advokat dan Konsultan Hukum di Law Firm Sayuti Rambang & Associates)

OPINI, FABERTA — Bagi sebagian masyarakat persoalan hukum terlalu rumit untuk dipahami dan dimengerti cara kerjanya. Namun tetap masyarakat harus mengetahui persoalan hukum, seperti halnya yang terbaru Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan terbaru akhir agustus kemarin.

Di mana Putusan MK No: 02/PUU-XIX/2021 tentang pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia ini, secara langsung menggantikan putusan MK pada tahun 2019 Nomor: 18/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa setiap penyitaan kendaraan mesti melalui pengadilan.

Walaupun permohonan uji materi tentang pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diajukan saudara Joshua Michael Djami ditolak. Namun MK dalam putusannya, memberikan kepastian hukum bahwa jalur pengadilan hanya dilakukan jika debitur (konsumen) keberatan dengan proses penyitaan, sebaliknya apabila debitur (konsumen) setuju, maka penyitaan atau eksekusi tanpa harus jalur pengadilan.

Sama seperti hubungan, adanya putusan MK terbaru ini tidak lepas dari adanya Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengenai bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia itu mempunyai kekuatan eksekutorial, yang mana kekuatan hukumnya sama dengan putusan pengadilan. Nah karena pasal inilah, banyak kasus sebelum tahun 2019 dimana leasing melalui pihak ketiga atau debt collector melakukan penarikan secara paksa di tengah-tengah masyarakat.

Sehingga ada yang ditengah jalan, ditarik kendaraannya, ada yang lagi dipinjam kendaraannya, ditarik juga dan ada yang lagi bersama keluarga, semua tidak lepas dari penarikan pihak ketiga atau debt collector jika mengalami kredit macet

Semua tidak terkecuali apabila mengalami kredit macet dalam jangka waktu tertentu, seperti yang dialami oleh Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo selaku Pemohon I dan II yang melatarbelakangi adanya Putusan MK pada tahun 2019.

Dimana pada pokoknya, putusan MK tahun 2019 pihak ketiga atau debt collector tidak diperbolehkan melakukan penarikan secara paksa apabila tidak adanya persetujuan dan tidak mendapatkan putusan tetap dari Pengadilan. Sehingga membuat saudara Joshua Michael Djami selaku pegawai dari Perusahaan Pembiayaan, melakukan perlawanan kembali ke MK pada tahun 2021.

Sehingga, pada dasarnya hal yang wajar adanya putusan MK terbaru ini untuk memberikan keseimbangan dan kepastian hukum antara lembaga pembiayaan (kreditu) dan debitur (konsumen) tentang pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Oleh karena itu, sebagai lembaga tertinggi kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang yang besar untuk semua warga negara yang tidak merasa puas, dalam mendapatkan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum terhadap suatu aturan, untuk melakukan permohonan pengujian. INGAT, persoalan hukum bukan persoalan percintaan.

Disisi lain adanya putusan MK ini ada beberapa aspek pertimbangan yang perlu diperhatikan. Dimana peran ini dapat berfungsi dengan baik, apabila Advokat dapat memberikan pemahaman dan edukasi dalam proses sita barang jaminan yang sesuai peraturan perundang-undangan di tengah masyarakat.

Penulis: Agung Pratama, S.H
(Advokat dan Konsultan Hukum di Law Firm Sayuti Rambang & Associates)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *