PANGKALPINANG, FABERTA — Penghapusan mural mirip presiden akhir-akhir ini tengah hangat menjadi perbincangan publik. Kontrovrsial ini makin heboh tatkala berbagai gambar mural mirip Jokowi di berbagai belahan daerah dihapus.
Termasuk mural yang berada di Jalan Yang Zubaidah (Samping Apotek Bangka), Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung ikut menjadi salah satu mural yang dihapus belum lama ini.
Soal penghapusan mural pun turut ditanggapi oleh Vidhyasuri Utami, penulis sekaligus Dosen Seni Rupa di Universitas Trisakti, Jakarta.
“Sebenarnya penghapusan mural di fasilitas publik bukanlah hal yang baru. Mural atau graffiti awalnya adalah sebagai sebuah tindakan ekspresi individu di fasilitas publik ataupun privat dengan tujuan untuk dilihat publik. Efek kejut ataupun kontroversi pun menjadi salah satu unsur medium ini,” kata Utami melalui keterangannya, Sabtu (18/9/2021).
Utami menuturkan, tindakan menggambar mural seringkali dianggap vandal oleh pihak penguasa ini seringkali dihapus dengan alasan “ketertiban” ataupun “kebersihan” fasilitas publik. Seringkali pula, penghapusan mural atau karya “street art” dilakukan oleh pemilik gedung, rumah ataupun tempat karena dibuat tanpa izin.
“Di Jakarta, misalnya, memang ada upaya dan aturan untuk menertibkan hiasan atau coretan di fasilitas publik dengan membuat titik-titik yang bisa direspons oleh seniman mural atau street artists,” ungkapnya.
Mengenai mural Jokowi yang dihapus, Utami menjelaskan bahwa masyarakat harus teliti dalam melihat kronologisnya. Penghapusan mural tersebut memicu penghapusan mural bernada kritik setelahnya.
“Tapi bila kita lihat, penyebab penghapusan apakah karena isinya atau karena pemilik tempat tidak mengerti atau kurang suka dengan tampilan visualnya,” katanya.
Lanjut akademisi itu menuturkan bahwa mural di Indonesia memiliki perjalanan panjang yang tidak sekedar medium ekspresi. “Selain tulisan-tulisan pendukung perjuangan kemerdekaan di 1940-an di Batavia (Jakarta), kita juga patut mengingat tulisan-tulisan atau label ‘milik non-pribumi’ ataupun ‘milik pribumi’ di kisaran tahun 1998 yang menjadi salah satu babak muram sejarah bangsa,” tuturnya.
Dikatakan Utami, trauma terhadap label, tulisan dan gambar di fasilitas publik ataupun privat yang terlihat oleh publik untuk saat ini masih ada. “Itu mengapa kita juga harus lebih teliti untuk melihat kasus mural ini dan terperangkap dengan sentimen yang menggunakannya sebagai upaya penggiringan opini politik publik,” kata dia.
“Itu mengapa kita lebih jernih untuk melihat kontroversi penghapusan mural tersebut yang seringkali diidentikan atau pun diindikasikan sebagai titik atau benih represi (pengekangan_red) terhadap kebebasan berekspresi individu dalam masyarakat,” sambungnya.
Utami menambahkan, sebuah hal wajar untuk merasa tidak puas ataupun puas dalam menilai kinerja penguasa. Dan wajar pula untuk mengemukakan pendapat tersebut baik melalui saluran-saluran komunikasi formal dan informal.
“Itu mengapa sebetulanya keputusan Jokowi untuk meminta polisi untuk tidak responsif ataupun polisi menutup kasus dengan melihat tidak ada tindakan pidana sudah tepat,” ujarnya.
Sebagai sebuah karya, kata dia, mural tersebut justru menyampaikan pesannya kepada publik melalui penghapusannya. Kalau tidak dihapus, bisa jadi mural tersebut hanya dilihat oleh masyarakat setempat saja. Dan ini adalah salah satu aspek menarik mural itu sendiri.
“Dengan dihapus, justru pesannya lebih diingat dan dibicarakan. Tentunya selama masih ada pendokumentasiannya,” katanya.