FAKTA BERITA, OPINI – Bagaimanapun juga, entitas pertimahan memang begitu terlekati dalam sejarah sosial-politik lokal sejak rezim kolonial. Selalu saja muncul ekspresi kekesalan dan amarah publik Babel yang menganggap cara pandang dan kerja otoritas negara nyaris selalu menyebabkan tersisihnya hak atas akses dan kontrol (lihat Peluso, 2003) penduduk lokal terhadap sumber daya timah. Artinya, semakin kuat upaya negara membatasi partisipasi publik, maka semakin besar pula potensi tereksklusinya atau terpinggirkannya posisi warga lokal untuk menikmati kesejahteraan dari mineral timah. Secara politik, protes warga selama ini sebenarnya juga bagian dari ekspresi perlawanan mereka atau dalam bahasa Sutedjo Sujitno (2007) sebagai dendam sejarah agar timah tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit pengusaha dan elit aparatus negara saja.
Oktober Kelabu
Dinamika pertimahan hari ini sebenarnya bisa direfleksikan sebagai gejolak berulang yang nyaris selalu mewarnai sejarah politik pertimahan di Indonesia, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung. Artinya, ada keberlanjutan sejarah yang terus berlangsung terkait dinamika konfliktual dan juga kekerasan ekstraktif masih saja mewarnai dinamika pertimahan sejak era kolonial hingga saat sekarang ini. Gejolak ‘amuk massa’ yang terjadi di kantor PT.Timah pada 6 Oktober 2025 merupakan potret sejarah yang mirip dengan peristiwa ‘Oktober kelabu’ yang berlangsung pada tahun 2007 silam.
Peristiwa Oktober kelabu tersebut sama-sama menggambarkan betapa dilematis-problematisnya isu pertimahan hingga saat ini yang nyaris tak pernah henti-hentinya menampilkan guncangan sosial-ekonomi lokal. Bisa dibayangkan sudah lebih dari 3,5 abad ekstraksi pertimahan berlangsung di bumi Serumpun Sebalai, melewati berbagai rezim kekuasaan politik lokal dan nasional, namun tetap saja menyisakan gejolak konfliktual yang letupannya bisa terjadi kapan saja. Pada 6 Oktober 2025, bertepatan dengan lawatan perdana Presiden Prabowo Subianto ke Babel, ribuan masyarakat turun ke jalan mendemo PT Timah Tbk– menuntut harga timah yang adil, penghentian razia dan kriminalisasi penambang rakyat, serta mengembalikan ruang bagi masyarakat lokal untuk bisa mengakses tambang timah sebagai sumber pencaharian hidup mereka di tengah guncangan ekonomi yang begitu serius sejak beberapa tahun terakhir.



















