PANGKALPINANG, FAKTABERITA — Dewasa ini, era digitalisasi berkembang dengan sangat cepat dan masif. Tak heran jika sejumlah oknum tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan ini dengan menyebarkan berbagai informasi atau berita bohong (hoaks), mulai melalui media sosial, portal berita, bahkan lewat pesan digital.
Tak sedikit para netizen termakan bahkan ikut menyebarluaskan hoaks tersebut. Sehingga, literasi digital dinilai perlu agar masyarakat bisa lebih berhati-hati dan cermat dalam mengkonsumsi setiap berita yang ada.
Dalam hal ini, Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Syawaludin menjelaskan bahwa masyarakat sudah harus cerdas dalam memilah informasi yang ada. Tidak hanya menelan mentah-mentah, tetapi disaring terlebih dahulu sehingga tidak termakan hoaks yang beredar.
“Kita tahu bahwa saat ini semua orang tidak asing lagi menggunakan gadget menggunakan internet bahkan di segala lini di kehidupan kita menggunakan internet sebagai alat untuk berkomunikasi bertransaksi bahkan berjual-beli dan sebagainya,” kata Syawaludin, Jumat (1/4/2022).
Pertama, Syawaludin menjelaskan bahwa masyarakat harus mewaspadai artikel berjudul provokatif atau memaksa. Kedua, perhatikan alamat situsnya, ia mengajak masyarakat untuk memilih situs yang terpercaya. Ketiga, baca dan cermati isi beritanya.
“Keempat, masyarakat juga bisa mengecek isi beritanya melalui cekfakta.com, turnbackhoax.id, atau google fact check. Kelima, cek keaslian foto dengan google images. Keenam, cek videonya dengan situs yandex.com,” papar Syawaludin.
Hal yang tidak kalah penting kata Syawaludin, adalah mengikuti group diskusi anti-hoax dan terakhir masyarakat bisa melaporkan jika menemukan adanya berita hoax yang beredar.
Literasi menangkal hoax dinilai sangat penting, pasalnya, Syawaludin menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Centre for Internasional (CIGI) mencatan 86 persen pengguna internet di dunia menjadi korban penyebaran berita hoax, Facebook tercatat menjadi platform yang paling banyak menyebarkan hoax.
Survei yang dilakukan di 25 negara itu, melibatkan lebih dari 25 ribu pengguna internet. Survei tersebut menggunakan metode jajak pendapat dengan wawancara langsung dan daring yang dilakukan pada 21 Desember 2018 hingga 10 Februari 2019.
“Oleh karenanya, di era yang sudah serba digital ini, kita semua diharapkan tidak melupakan etika dalam berinternet. Tentunya dengan selalu mengedepankan fakta, sehingga apa yang kita sajikan di internet bisa dipertanggung jawabkan,” pungkasnya.(fb03)