Rehabilitasi Mangrove Menjadi Penyelamat di Kala PPKM

BELITUNG, FABERTA — Sejak 1950an Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung menjadi salah satu lokasi penambangan timah. Meski lahan sempat dikembalikan ke pemerintah pada 1980an, namun kegiatan penambangan timah terus berlanjut. Kali ini proses penambangan dilakukan secara ilegal.

“Pengambilannya itu tanpa aturan. Jadi tempatnya dari dataran hingga lautan itu rusak,” kata Jufri, Wakil Ketua Kelompok Seberang Bersatu.

Jufri bercerita akibat penambangan itu, ekosistem dan mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan terganggu. Pada 2013, gagasan untuk merehabilitasi lingkungan mangrove itu muncul dalam bentuk tempat wisata.

Seiring diskusi antarwarga, gagasan menyelamatkan mangrove yang rusak justru menguat. “Jadi mayoritas warga berpikir, kalau mangrovenya dibabat, udang, kepiting, suatu hari akan punah. Akhirnya sadar, ada penambang (timah) yang masuk jadi penggiat mangrove,” kata dia.

Jufri mengatakan kelompok awalnya hanya mengelola 5 hektare lahan. Selama masa awal ini, Jufri dan kawan-kawan mengalami kesulitan. Dari 5.000 bibit mangrove yang coba mereka tanam, mangrove yang tumbuh hanya sekitar 10 persen.

“Waktu itu kita belum dapat ilmunya,” ujar dia.

Beranjak dari kegagalan ini, Jufri dan kelompoknya membuat divisi-divisi. Ada kelompok yang khusus membudidayakan, renovasi, dan tukang. Jufri sendiri belajar teknik membudidayakan mangrove hingga ke Karangsong, Indramayu dan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Dari perjalanan ini, Jufri mulai menemukan jawaban masalah budidaya mangrove di kelompoknya.

“Saya terjun ke lapangan, baca buku, buka Google, ternyata bibit yang ditanam kelompok tidak cocok di bekas tambang. Ditemukan jenis Stylosa dan Mucronata, dan program sekarang Apiculata,” ucap dia.

*Bertahan di Tengah Pandemi*
Perjuangan kelompok ini dalam membudidayakan mangrove mulai terlihat pada 2018. Sekarang, kelompoknya sudah bisa membudidayakan bibit mangrove secara mandiri.

“Ketika Stylosa-nya berbuah kita cepat panen dan budidayakan,” ujar dia.

Selama proses pembibitan itu, para anggota Seberang Bersatu juga sudah memiliki pemahaman mengenai jenis mangrove apa yang cocok di lokasi tertentu. Contohnya AirNav Indonesia menggelar penanaman 5.000 mangrove. “85 persen tumbuh semua,” kata dia.

Puncaknya, Kelompok Seberang Bersatu mendapat izin usaha pemanfaatan (IUP) hutan lindung seluas 757 hektare di lahan bekas tambang timah pada 2019. Lahan itu dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata Hutan Kemasyarakatan (HKm) Juru Seberang.

Kini, pada masa pandemi Covid-19, Jufri dan kelompoknya memutar otak. Selama PPKM Kawasan HKm Juru Seberang tak bisa mendapat wisatawan. Tentunya menyulitkan masyarakat.

Jufri mengatakan, menjadi kelompok pelaksana penanaman mangrove Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini, membawa angin segar bagi masyarakat. Warga yang menanam mangrove bisa mendapat upah harian.

“Alhamdulillah rencana kita menanam mangrove sekarang terwujud, juga warga yang tidak mendapat pekerjaan bisa mengais rupiah dari penanaman mangrove,” ucap Ketua Kelompok Perhutanan Sosial (KUPS) Penanaman Mangrove ini.

Luasan areal penanaman bibit mangrove yang akan dilakukan kelompok bersama 40 warga desa sekitar 20 hektare. Sejauh ini, telah dilakukan penanaman pada areal seluas 10 hektare, “10 hektare sudah kita tanami,” tutur Jufri, Jumat, 13 Agustus 2021.

Akses ke lokasi penanaman, tambah Jufri, memiliki tantangan tersendiri, karena berada di bibir pantai dan berlumpur. Juga, penanaman pada musim kemarau potensi layu dan mati cukup besar, belum lagi adanya hantaman ombak laut. Tapi, dia menargetkan bibit mangrove yang ditanam bisa tumbuh 70-80 persen. “Mangrove yang mati nanti kita sulam kembali,” ujar dia.

Selain menanam mangrove, selama PPKM, Kelompok Seberang Bersatu juga merehabilitasi lahan kritis dengan penanaman tanaman buah-buahan. Jufri berharap selepas pandemi, buah-buahan itu bisa menjadi agrowisata baru.

“Sekarang kita kembali menjalankan perencanaan yang belum terealisasi,” ujar dia.

Selain budidaya tanaman buah, kelompoknya juga membangun Silvofishery dengan membudidayakan ikan, kepiting, dan kerapu di areal seluas 4 hektare. Jufri menyebut upaya ini didirikan untuk mengatasi sepinya pengunjung ditengah pandemi.

*Harapan dan Menjaga Kearifan Lokal*

Jufri mengatakan kerja sama dengan BRGM ini dapat berlanjut untuk merehabilitasi lahan bekas tambang. Dia berharap sinergi itu bisa dikembangkan untuk mengembangkan mangrove jenis Avicennia marina dan Avicennia alba. Dua jenis mengrove ini, kata Jufri, sangat baik untuk lahan berpasir.

Dia juga ingin, ekosistem mangrove kembali berfungsi dengan penanaman santigi (Phempis acidula) dan terantum (Lumnitzera racemosa). Dengan penanaman dua tumbuhan ini, dia berharap warga bisa menghasilkan peternakan lebah madu mangrove.

“Wisata untuk masa depan budidaya lebah madu,” kata dia.

Tak hanya itu, untuk mengenalkan mangrove ke masyarakat, dia juga ingin menjadikan santigi sebagai buah tangan. Tapi, tidak sebagai bonsai. Santigi yang dibeli wisatawan akan dicatat dan perkembangannya dilaporkan ke wisatawan.

“Kami harapkan pengunjung bisa mengadopsi pohon itu,” ujar dia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *